ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) adalah salah satu penilaian Corporate Governancedengan menggunakan suatu tolak ukur atau parameter pengukuran praktik Corporate Governanceyang disepakati oleh Asean Capital Market Forum (ACMF), yaitu asosiasi otoritas pasar modal ASEAN. ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) dibuat berdasarkan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) Principles.
AWAL ACGS
Lahirnya ACGS diawali dari pertemuan para Menteri Keuangan ASEAN pada tahun 2009, yang mendukung rencana implementasi ACMF untuk mempromosikan pengembangan pasar modal terintegrasi guna mendukung Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015. Dengan kualitas tata kelola korporasi yang baik, diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan investor kepada perusahaan-perusahaan listing di ASEAN.
Aadapun inisiatif tata kelola korporasi ASEAN ini terdiri dari: (1) Penyusunan ACGS dan (2) Memeringkat tata kelola korporasi di negara ASEAN. Inisiatif ini adalah upaya untuk mempromosikan korporasi ASEAN yang memiliki tata kelola baik kepada investor secara internasional.
Dalam hal ini, korporasi menerapkan prinsip-prinsip Corporate Governance yang dikembangkan oleh OECD, yaitu (1) Hak-hak Pemegang Saham (Rights os Stakeholders); (2) Perlakuan yang setara terhadap Pemegang Saham (Equitable Treatment of Stakeholders); (3) Peran Pemangku Kepentingan (Role of Stakeholders); (4) Pengungkapan dan Transparansi (Disclosure and Transparency); dan (5) Tanggung Jawab Dewan (Responsisbilities of Boards).
Untuk menjaga objektivitas, reliabilitas, dan independensi metodologi, terdapat Quality Assurance dan Tim Pakar Tata Kelola Korporasi yang dibentuk oleh ACMF. Tim Pakar terdiri dari 6 negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam). Perwakilan dari Indonesia adalah Profesor Sidharta Utama dari Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD) dan Universitas Indonesia.
KRITERIA PENILAIAN
Sekarang ini, PLNE menggunakan parameter penilaian berupa SE No.16 BUMN/2012 untuk penerapan tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini sesuai dengan mandatori holding terhadap anak perusahaannya. Adapun perbedaan antara SE-16 dengan ACGS ditunjukkan dalam tabel berikut.
Praktik-praktik trbaik sesuai standar, sedangkan penalti merefleksikan aksi dan peristiwa yang menunjukkan tata kelola yang buruk. Dalam SE-16, maksimal bobot adalah 100%. Sedangkan pada sistem ACGS, sebuah korporasi bisa memperoleh nilai hingga di atas 100.
PLN Enjiniring bertekad untuk selalu melakukan peningkatan dan perbaikan dalam pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola yang baik secara konsisten dan berkesinambungan. Sesuai dengan visi PLN Enjiniring menjadi perusahaan konsultan enjiniring yang terkemuka di Asia, PLN Enjiniring harus dapat menunjukkan kemampuannya untuk tampil di pasar Asia, khususnya ASEAN.
PLN Enjiniring telah membentuk Tim Implementasi GCG tahun 2018. Tim ini diharapkan dapat mendorong terlaksananya implementasi tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan, melakukan inovasi, serta melakukan benchmark terhadap best practice atas implementasi tata kelola perusahaan yang baik.
Kemudian, sesuai dengan rencana kerja manajemen yang ditetapkan di Rapat Kerja tahun 2018, PLN Enjiniring akan mencoba menjajaki penerapan tata kelola perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip ACGS. Apakah PLN Enjiniring selanjutnya akan mengikuti berdasarkan parameeter penilaian ACGS? Kita tunggu saj akelanjutannya. (Katherine Amaralina, Manajer Kinerja dan Komunikasi PLN Enjiniring)